Banjir di Ternate, Nadhir : Pemkot Harus Tinjau Kembali RTRW

Pemerintah Kota Ternate harus memastikan bahwa RTRW yang baru nantinya berbasis pada data ilmiah dan memperhitungkan risiko bencana. Jangan sampai kita hanya melakukan revisi secara administratif tanpa dampak nyata di lapangan

Kota Ternate33 Dilihat

TERNATE,HalmaheraPress– Banjir yang belakangan ini melanda Kota Ternate perlu menjadi alarm serius bagi pemerintah daerah dan masyarakat untuk meninjau kembali strategi penanggulangan bencana.

Hujan lebat yang mengguyur kota saat malam takbiran mengakibatkan tiga kelurahan terendam banjir, sementara di dua kecamatan lainnya, tim SAR harus mengevakuasi sedikitnya 38 warga dengan metode “pagar hidup” akibat derasnya arus air.

Pemerintah Kota Ternate telah menyatakan komitmennya untuk menelusuri sumber penyebab banjir, namun langkah konkret yang lebih strategis diperlukan untuk mencegah peristiwa serupa terjadi di masa depan.

Salah satu langkah utama yang harus segera dilakukan adalah meninjau kembali Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) guna memastikan bahwa tata kelola ruang di Kota Ternate mendukung upaya mitigasi dan pencegahan bencana.

Direktur Eksekutif Beyond Health Indonesia, Nadhir Wardhana Salama, yang juga alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, menegaskan bahwa peninjauan kembali RTRW sangat krusial dalam upaya preventif menghadapi bencana.

“RTRW bukan sekadar dokumen administratif, melainkan pedoman strategis yang menentukan bagaimana suatu kota berkembang dengan tetap memperhitungkan keseimbangan ekologi dan daya dukung lingkungan. Jika RTRW tidak disusun dengan mempertimbangkan aspek lingkungan, maka yang terjadi adalah pembangunan yang tidak terkendali dan memperbesar risiko bencana,” ujar Nadhir.

Menurut Nadhir, banyak kota yang mengalami peningkatan risiko banjir karena perubahan fungsi lahan yang tidak terkendali.

“Alih fungsi lahan dari kawasan hijau menjadi permukiman atau kawasan bisnis tanpa perencanaan yang tepat berkontribusi pada peningkatan risiko banjir di daerah perkotaan. Kota Ternate harus belajar dari kasus serupa di berbagai wilayah lain di Indonesia,” jelasnya.

Ia menambahkan bahwa tanpa revisi RTRW yang berbasis kajian ilmiah, upaya penanggulangan banjir hanya akan bersifat reaktif dan tidak menyelesaikan akar permasalahan.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perencanaan tata ruang yang tidak memperhitungkan faktor lingkungan merupakan salah satu penyebab utama meningkatnya intensitas dan frekuensi banjir. Studi dalam Journal of Planning and Development menyebutkan bahwa pengurangan kawasan resapan air mempercepat aliran permukaan dan memperburuk dampak banjir.

“Kita tidak bisa hanya mengandalkan sistem drainase tanpa memperhatikan kawasan resapan. Jika daerah tangkapan air terus menyusut, maka banjir akan menjadi masalah yang berulang,” tegas Nadhir.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa RTRW harus mengintegrasikan mitigasi bencana dengan menata pola aliran air, menetapkan zona perlindungan, dan membatasi pembangunan di daerah rawan banjir.

“Pemerintah Kota Ternate harus memastikan bahwa RTRW yang baru nantinya berbasis pada data ilmiah dan memperhitungkan risiko bencana. Jangan sampai kita hanya melakukan revisi secara administratif tanpa dampak nyata di lapangan,” tambahnya.

Mitigasi bencana dan kesiapsiagaan masyarakat juga harus menjadi prioritas dalam kebijakan tata ruang Kota Ternate.

“RTRW yang kuat harus mengatur pengembangan sistem drainase yang lebih baik, memperluas kawasan resapan air, serta menerapkan teknologi adaptasi perubahan iklim dalam desain infrastruktur perkotaan. Ini bukan sekadar proyek pembangunan, tetapi investasi jangka panjang dalam keselamatan warga,” ungkap Nadhir.

Selain aspek teknis dan tata ruang, banjir juga memiliki dampak besar terhadap kesehatan masyarakat.

“Ketika banjir terjadi, risiko penyakit menular seperti diare, leptospirosis, dan penyakit kulit meningkat drastis akibat air yang terkontaminasi dan kondisi lingkungan yang tidak higienis.

Oleh karena itu, RTRW yang baik juga harus mempertimbangkan dampaknya terhadap kesehatan masyarakat,” kata Nadhir.

Ia menambahkan bahwa kesiapan fasilitas kesehatan juga harus menjadi bagian dari strategi mitigasi bencana.

“Selain mitigasi struktural, kita juga perlu memastikan bahwa sistem kesehatan masyarakat siap menghadapi dampak banjir. Ini mencakup kesiapan fasilitas kesehatan, distribusi air bersih, hingga edukasi bagi masyarakat tentang langkah-langkah pencegahan penyakit pasca-banjir,” jelasnya.

Melihat kondisi ini, Beyond Health Indonesia mendesak Pemerintah Kota Ternate untuk segera mengambil langkah konkret dengan meninjau kembali RTRW dan memastikan bahwa perencanaan tata ruang kota tidak hanya berorientasi pada pembangunan ekonomi, tetapi juga mempertimbangkan aspek keberlanjutan lingkungan dan keselamatan warga.

“RTRW yang baik bukan hanya tentang pembagian zona, tetapi juga memastikan bahwa pembangunan yang dilakukan tidak mengorbankan lingkungan dan keselamatan masyarakat. Jika RTRW tidak diperbaiki, maka bencana seperti ini akan terus berulang dan dampaknya akan semakin besar,” tegas Nadhir.

Selain itu, Beyond Health Indonesia juga merekomendasikan peningkatan edukasi masyarakat terkait kesiapsiagaan bencana serta penguatan layanan kesehatan dalam situasi darurat.

“Pendidikan bencana harus menjadi bagian dari kebijakan kota. Masyarakat yang memahami risiko dan tahu cara menghadapinya akan lebih siap ketika bencana terjadi,” tambahnya.

Nadhir menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa revisi RTRW bukan sekadar formalitas, tetapi langkah strategis dalam membangun ketahanan Kota Ternate terhadap bencana.

“Kita harus beralih dari pola pikir reaktif menjadi proaktif dengan menyiapkan kota yang lebih tangguh terhadap bencana. Dengan langkah-langkah yang tepat, Kota Ternate dapat mengurangi risiko banjir di masa depan, melindungi warganya, dan memastikan pembangunan yang berkelanjutan,”pungkasnya.(red)

banner 400x130

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *