GUBERNUR Maluku Utara, Sherly Tjoanda Laos, tengah menjadi sorotan publik setelah mengeluarkan dua kebijakan kontroversial yang justru mencederai kepercayaan rakyat.
Pertama, penunjukan Abjan Sofyan—mantan Sekda Morotai yang juga mantan narapidana kasus korupsi—sebagai bagian dari tim evaluasi APBD dengan dalih efisiensi. Kedua, rencana awal untuk memberangkatkan jemaah haji menggunakan penerbangan reguler, bukan carter seperti sebelumnya. Kedua kebijakan ini tak hanya menimbulkan polemik, tetapi juga mengancam kredibilitas Gubernur Sherly yang selama ini menjanjikan tata kelola pemerintahan yang bersih dan berpihak pada rakyat. Kita akan membedah satu per satu kebijakan ini dan bagaimana keduanya menunjukkan adanya krisis kepemimpinan, inkonsistensi visi, serta kegagalan memahami kultur dan kebutuhan masyarakat Maluku Utara.
Ironi Pembersihan APBD
Ketika Sherly Joanda Laos mengangkat Abjan Sofyan sebagai anggota tim evaluasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dengan alasan efisiensi, publik sontak bertanya-tanya: di mana semangat “bersih” yang selama ini dia kampanyekan? Abjan memang pernah menjabat sebagai Sekretaris Daerah Pulau Morotai, tetapi rekam jejaknya penuh tanda tanya. Ia adalah mantan narapidana kasus korupsi.
Dengan latar belakang demikian, keikutsertaannya dalam “membedah” APBD bukan hanya ironi, tetapi juga penghinaan terhadap akal sehat publik dan nilai-nilai reformasi birokrasi yang katanya menjadi agenda utama Sherly.
Tak ayal, publik menilai bahwa Sherly telah menggunakan sapu yang kotor untuk membersihkan rumah. Boro-boro rumah menjadi bersih, justru potensi kotor semakin besar. Kehadiran Abjan seperti membenturkan idealisme dengan realitas politis: Sherly boleh jadi punya niat baik memperbaiki penggunaan anggaran, tetapi caranya justru memperlihatkan kecanggungan dan ketidaktegasan dalam menjaga integritas aparatur negara.
Lebih dari itu, Abjan bukan sekadar “orang berpengalaman”, ia adalah bekas bawahan suami Sherly, yakni Manding Laos. Maka, penunjukannya mengundang persepsi publik bahwa ini bukan soal kompetensi, tetapi jaringan kekuasaan yang terus diperpanjang. Publik pun makin yakin bahwa apa yang disebut “efisiensi” hanyalah pembenaran atas praktik nepotisme terselubung. Ketika seorang gubernur memprioritaskan loyalitas politik dibanding rekam jejak moral, maka apa yang akan terjadi bukan reformasi birokrasi, melainkan restorasi jaringan lama dengan wajah baru.
Egoisme Tanpa Konsultasi
Kebijakan kedua yang tak kalah kontroversial adalah rencana penggunaan pesawat reguler untuk memberangkatkan jemaah haji dari Maluku Utara ke embarkasi Makassar. Gubernur berdalih bahwa hal ini dilakukan demi efisiensi biaya. Tapi publik dengan cepat menangkap: ini bukan semata-mata soal penghematan, melainkan bentuk keputusan sepihak yang minim empati terhadap jemaah haji yang kebanyakan berusia lanjut dan masuk kategori risiko tinggi (risti).
Selama ini, penggunaan pesawat carter memberikan kemudahan layanan: bus jemaah langsung masuk ke runway, tidak perlu antre dan melalui proses pemeriksaan panjang di terminal. Sebagian jemaah bahkan harus menggunakan kursi roda, dan proses pemindahan ke pesawat menjadi sangat manusiawi dalam skema carter. Penggunaan pesawat reguler akan memaksa jemaah menghadapi prosedur bandara layaknya penumpang umum—yang jelas tidak sesuai dengan kondisi fisik mereka.
Lebih memprihatinkan lagi, keputusan ini diambil tanpa konsultasi dengan Wakil Gubernur Sarbin Sehe, yang notabene adalah mantan Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama dan sangat memahami dinamika pelayanan haji. Ini menunjukkan gaya kepemimpinan Sherly yang sentralistik dan egoistik—mengabaikan pengalaman serta keilmuan orang-orang yang seharusnya menjadi mitra strategis.
Setelah menuai reaksi keras dari masyarakat, kebijakan ini pun diubah mendadak. Skema carter kembali dipakai.
Wakil Gubernur Sarbin Sehe kemudian “dipaksa” tampil sebagai penenang, atau ibarat publik bilang: “paracetamol” untuk meredakan demam yang ditimbulkan oleh ulah pemimpinnya sendiri. Ini menunjukkan bahwa tidak ada sistem konsultasi kebijakan yang matang, dan keputusan strategis bisa saja diambil berdasarkan intuisi personal yang dangkal.
Belajar dari Kritik : Jangan Abaikan Kearifan Lokal dan Sensitivitas Publik
Dua kebijakan ini menggambarkan bahwa Gubernur Sherly Joanda Laos perlu melakukan evaluasi mendalam terhadap cara ia mengambil keputusan. Dalam konteks Maluku Utara, yang mayoritas penduduknya adalah Muslim dan sangat menghargai tatanan sosial serta nilai keadilan, kesalahan dalam mengelola hal-hal sensitif seperti pelayanan haji bisa berbuntut panjang. Apalagi, publik sudah memberikan kepercayaan kepada Sherly—seorang dari kelompok minoritas—untuk memimpin provinsi ini. Tentu itu bukan keputusan mudah, dan karena itu ekspektasinya pun tinggi.
Alih-alih menunjukkan semangat meritokrasi dan tata kelola modern, Sherly justru tersandung dua blunder yang bisa melemahkan dukungan publiknya. Penunjukan Abjan menunjukkan minimnya standar moral dalam mengelola tim kerja. Sedangkan kegagalan memahami kebutuhan jemaah haji mencerminkan ketidakpekaan terhadap pelayanan publik dan kearifan lokal.
Dari dua kasus ini, Gubernur Sherly seharusnya belajar bahwa kepercayaan tidak dibangun dengan jargon, tetapi dengan keteladanan. Jangan bicara soal pemerintahan bersih jika orang-orang yang dipakai adalah simbol dari masa lalu yang kotor. Jangan bicara soal efisiensi jika itu mengorbankan aspek kemanusiaan dan kenyamanan rakyat. Dan yang paling penting: jangan ambil keputusan sendirian. Karena kepemimpinan bukan soal siapa yang paling tahu, tetapi siapa yang paling bijaksana menyerap banyak sudut pandang sebelum menetapkan arah.
Publik Maluku Utara sudah cukup dewasa. Mereka bisa membedakan antara pemimpin yang berjalan bersama rakyat, dan pemimpin yang melangkah sendiri atas nama efisiensi. Dalam kasus ini, Sherly seharusnya tahu, bahwa pemimpin hebat bukan hanya diukur dari niat baiknya, tetapi dari kemampuannya menerjemahkan niat itu menjadi kebijakan yang adil, rasional, dan bermartabat.